Setelah menunaikan shalat maghrib, aku terpanggil untuk membaca kembali kitab Silsilatul-Ahaadiits adh-Dha’ifah
wal-Maudhu’ah wa Atsaruhas-Sayyi’ fil-Ummah Karya Muhammad Nashiruddin
al-Albani. Kali ini hadits yang aku baca menerangkan tentang Shalat, aku pernah mendengar hadits ini, tapi saat itu aku belum tahu kalau hadits ini rupanya hadits batil. Hadits yang aku baca ini terdapat kecacatan dalam sanad maupun matannya. Untuk lebih jelasnya, lebih baik teman-teman baca keterangan silsilah haditsnya menurut syekh al-Bani yang di bawah ini :
من لم تنهه صلاته عن الفحشاء والمنكر لم يزدد من الله الا بعدا
“Barangsiapa
shalatnya tidak dapat mencegahnya dari perbuatan keji dan munkar, maka ia tidak
menambah sesuatu pun dari Allah swt. Kecuali kejauhan.”
Hadits tersebut batil. Walaupun hadits tersebut sangat dikenal dan sering
menjadi pembicaraan, namun sanad maupun matannya tidak shahih.
Dari segi sanad, telah diriwayatkan oleh at-Thabrani dalam kitab al-Mu’jam
al-Kabir, al-Qudha’i dalam kitab Musnad asy-Syihab II/43, Ibnu Hatim dalam
Tafsir Ibnu Katsir II/414 dan kitab al-Kawakib ad-Darari I/2/83, dari sanad
Laits, dari Thawus, dar Ibnu Abbas r.a., Ringkasnya, hadits tersebut sanadnya
tidak shahih sampai kepada Rasulullah saw., tetapi hanya mauquf (berhenti)
sampai kepada Ibnu Mas’ud r.a. Karena itu Syekhul Islam Ibnu Taimiyah dalam
Kitabul Iman halaman 12, tidak menyebut-nyebutnya kecuali sebagai riwayat
mauquf yang hanya sampai kepada Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas r.a.
Di samping itu, matannya pun tidak shahih sebab zhahirnya mencakup siapa
saja yang mendirikan shalat dengan memenuhi syarat rukunnya. Padahal, syara’
tetap menghukuminya sebagai yang benar atau sah, kendatipun pelaku shalat
tersebut masih suka melakukan perbuatan yang bersifat maksiat. Jadi, tidaklah
benar bila dengannya (yakni shalat yang benar) justru akan makin menjauhkan
pelakunya dari Allah swt. Ini sesuatu yang tidak masuk akal dan tidak pula
dibenarkan dalam syariat. Karena itu, Ibnu Taimiyah menakwilkan kata-kata
“tidak menambahnya kecuali jauh dari Allah” jika yang tinggalkannya itu
merupakan kewajiban yang lebih agung dari yang dilakukannya. Dan ini berarti
pelaku shalat tadi meninggalkan sesuatu sehingga shalatnya tidak sah, seperti
rukun-rukun dan syarat-syaratnya. Kemudian, tampaknya bukanlah shalat yang
demikian (yakni yang sah dan benar menurut syara’) yang dimaksud dalam hadits
mauquf tadi.
Dengan demikian jelaslah bahwa hadits tersebut dha’if, baik dari segi sanad
maupun matannya. Wallahu a’lam bishshawab...
Sumber: Silsilatul-Ahaadiits adh-Dha’ifah
wal-Maudhu’ah wa Atsaruhas-Sayyi’ fil-Ummah Karya Muhammad Nashiruddin
al-Albani