Sunday, August 20, 2017 0 comments

Maulana Jalaluddin Muhamad Balkhi/ Rumi (604-672 H)


www.jurussemuailmu.blogspot.com
Biografi Maulan Rumi versi buku Mesnevi, karya Prof. Dr. Nevzar Tarhan
Tanggal 5 Jumadil Tsani tahun 672 hijriah, Maulana Jalaluddin Muhamad Balkhi, yang lebih dikenal dengan nama Maulawi atau Rumi, meninggal dunia di kota Qaunie, yang kini termasuk ke dalam wilayah Turki. Rumi adalah penyair paling legendaris dunia Islam abad ketujuh hijriah. Kemampuannya dalam menyusun kata-kata syair, serta makna irfani yang terkandung dalam bait-bait syairnya, hingga kini masih menjadi bahan penelaahan para kritikus sastra dunia.


Rumi dilahirkan tahun 604 hijriah di kota Balkh, Afghanistan utara. Kemudian, saat ia mulai menanjak usia remaja, Rumi bersama ayahnya pergi menuju Qaunie. Di kota itulah ayahandanya wafat. Rumi kemudian pergi menuju Damaskus dan Halab untuk menuntut ilmu-ilmu agama. Setelah merasa cukup, Rumi kembali ke Qaunie untuk mengajarkan apa yang pernah dipelajarinya. Beberapa tahun kemudian, Rumi bertemu dengan Syams Tabrizi, sufi paling terkenal saat itu. Perjumpaannya dengan Syams Tabrizi itu ternyata menimbulkan revolusi besar dalam jiwanya. Ia kemudian melakukan kehidupan zuhud dalam rangka pembersihan jiwa dan mulai menulis syair-syair berbahasa Persia yang berisikan hikmah dan ajaran-ajaran sufistik.



Karya Jalaluddin Rumi yang paling legendaris adalah kitab syair dalam bahasa Persia berjudul "Matsnawi Ma'nawi". Rumi juga menulis sejumlah buku lainnya, yang di antaranya berjudul "Fihi Ma Fihi", "Maktubat Maulana", dan "Ruba'iyat".

Biografi Maulana Rumi versi 'Isa 'Ali al-'Akub dalam pengantar buku Fihi Ma Fihi
Pengarang kitab Fihi Ma Fihi ini adalah seorang lelaki bernama Muhammad, dan mendapat julukan Jalaluddin. [1] Murid-murid dan para shahabatnya memanggil beliau dengan panggilan Maulana (Tuanku) yang searti dengan kata Khawaja dalam bahasa Persia, sebuah penghargaan maknawi dan sosial. Kata Maulana sendiri adalah terjemahan dari bahasa Persia Khudawanda kar, yang mana julukan ini pertama kali diberikan oleh ayahnya. Dalam literatur Persia modern, dia terkenal dengan sebutan Mevlevi. 
Terkadang disematkan pula julukan Rumi atau Maulana Rumi karena dia hidup di sebuah negeri Romawi, tepatnya di daerah Asia Kecil atau Anatolia yang saat ini lebih dikenal dengan sebutan Turki, sementara tempat tinggal ayah dan ibunya berada di kota Konya. Di negara Barat, dia dikenal dengan sebutan Rumi.
Maulana Rumi lahir di kota Balkha, sala satu kota di daerah Khurasan, pada 6 Rabi'ul Awal 604 H atau 30 September 1207 M. Nama asli ayah beliau adalah Bahauddin Muhammad, tetapi nama yang lebih masyhur adalah Baha' Walad. beliau adalah seorang pakar Fiqih yang agung, pemberi fatwa, sekaligus salah satu guru tarekat al-Kubrawiyah (pengikut Najmuddin al-Kubra), yang mendapat julukan Sultan al-Ulama (pembesar para Ulama). Dalam salah satu riwayat dikatakan bahwa julukan itu diberikan langsung oleh Nabi Muhammad saw., melalui mimpi. Sebagian riwayat menyatakan bahwa nasab Baha' Walad dari jalur ayah bersambung kepada Khalifah Abu Bakar al-Shiddiq, sementara dari jalur ibu memiliki ikatan darah dengan raja-raja Khawarizmi.
Diketahui juga dari beberapa riwayat bahwa Baha' Walad sering berdiskusi dan beradau argumentasi dengan para pembesar Khawarizmi, bahkan dengan Imam Fakhrurrazi. Beliau pernah berkata:

"Kalian adalah tawanan materai yang tak berharga dan kalian terhalang untuk mencapai hakikat." 
Namun pergulatan Baha' Walad dengan mereka tidak berlangsung lama dan terputus setelah serangan Mongol mempersempit ruang gerak ayah Rumi di Khurasan. Hingga ia dan keluarganya harus hijrah menuju Asia Kecil, sebuah tempat perlindungan yang dihiasi oleh para ulama, pemikir dan orang bijak.
Sampai beberapa tahun sebelum mereka berhijrah, Baha' Walad tidak menetap di kota Balkha, namun ia lebih sering berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain di wilayah Khurasan, seperti Wakhsy, Tirmidz dan Samarkand.
Perjalanan panjang ke Konya beserta keluarganya dimulai pada tahun 616 atau 617 H, seiring dengan gempuran tentara Moghul ke kota-kota Khurasan. Sebenarnya dalam perjalanan itu Baha' Walad hendak melaksanakan ibadah haji ke kota Makkah al-Mukarromah, tetapi niat itu baru terlaksana setelah ia dan keluarganya menetap di Konya. Keluarga Baha' Walad juga sempat singgah ke kota Naisabur, pasangan dari kota Khurasan, dan disambut oleh Syekh Fariduddin al-Attar, seorang bijak dan penyair besar yang berada di pasar tempat para penjual minyak di kota itu. Ia tinggal di sebuah bilik yang saat ini dikenal dengan sebutan apotek. Di sana ia mengobati orang-orang sakit dengan obat-obat racikannya sendiri, di samping itu ia juga sering menggubah syair Irfani dan mengarang berbagai kitab yang berharga. Menurut sebagaian sumber informasi, Syekh Fariduddin kagum dengan kepribadian Maulana Rumi yang meski masih belia namun sudah memiliki tingkat kecerdasan dan ketangkasan yang luar biasa sehingga beliau memberikan kitab karangannya yang berjudul Asrar Namih (Book of Secrets) kepada Rumi dan berkata pada ayahnya:
"Sesungguhnya anakmu akan menyalakan api dengan cepat di sekam dunia ini."
Kemudian dari kota Naisabur, mereka beranjak menuju Baghdad. Terdapat bermacam kejadian yang dialami ayah Rumi selama tiga hari di sana. Ia pernah meramalkan kemungkinan runtuhnya Dinasti Bani Abbasiyah, kedatangan khalifah ke kediamannya, dan mangkatnya sang lentera agama, Abu Hafs as-Suhrawardi, seorang bijak yang alim, terpandang, dan pemilik karya monumental 'Awarif al-Ma'arif (The Knowledge of The Spiritually Learned). Dari Baghdad, Baha' Walad membawa keluarganya keluar menuju Hijaz, kemudian bertolak ke kota Syam, dan menetap cukup lama di sana.
Beberapa versi riwayat yang tidak begitu valid menjelaskan perjalanan Baha' Walad dan putranya Maulana Rumi menuju kota Arzanjan di negara Armenia, bahwa mereka juga pernah singgah dalam waktu yang lama di kota Ak-Shahr (Aksehir), Malta, dan Laranda, yang menjadi tempat waatnya ibunda Maulana Rumi, Mu'mine Khatun. Di tempat ini pulalalh Rumi dipertemukan dengan seorang gadis bernama Jauhar Khatun yang kemudian dinikahinya dan melahirkan putra yang bernama Sultan Walad.
Perjalanan Baha' Walad bersama putranya sampai ke kota Konya pada tahun 626 H/ 1229 M. Kedatangannya dimuliakan oleh Sultan Seljuk Romawi, Alauddin Kaiqubad. Baha' Walad meninggal dunia pada 18 Rabi'ul Awal 628 H/ 1231 M. Kemudian Maulana Rumi menggantikan kedudukan ayahnya dalam mengajar ilmu Fiqh, memberi fatwa dan mendidik manusia.
Setahun setelah wafatnya Baha' Walad, datanglah salah seorang muridnya yang bernama Burhanuddin Muhaqqiq al-Tirmidzi yang ingin menemui guru yang dirindukannya. Namun perpisahan Burhanuddin dengan gurunya ini membuatnya pilu. Kemudian Burhanuddin memberikan pendidikan pada Maulana, dan yang pertama kali ia sampaikan adalah apa yang ia peroleh dari ayahnya. Burhanuddin menyarankan agar Maulana Rumi pergi ke kota Syam untuk meningkatkan kapasitas keilmuannya. Rumi kemudian dikirim ke kota Halb. Sambil ditemani olehnya, Rumi keluar sampai ke daerah Caesarea. Selama sembilan bulan lamanya, Burhanuddin al-Tirimidzi menjadi kekasih sekaligus mursyid bagi Rumi, baik jauh maupun dekat.
Diceritakan pula bahwa Maulana menetap di Halb sebelum menjelajahi separuh wilayah Damaskus. Sebagian pakar berpendapat bahwa wawasan luas Maulana Rumi yang berkaitan dengan keilmuan Islam terlihat pada kitabnya Matsnawi. Ia berhasil memperoleh pengetahuan tersebut saat ia masih berada di Halb dan Damaskus, di mana pada saat itu dua kota ini terkenal dengan sekolah-sekolah Islam terkemuka yang pengajarannya dijalankan oleh para cendikiawan ilmu Fiqih tersohor. Di dekat sekolah itu, tepatnya di Damaskus, juga hidup seorang guru Irfani terbesar, Syekh Muhyiddin Ibnu 'Arabi. Termasuk dari kebiasaan para pencari ilmu tersurat maupun tersirat adalah menelusuri separuh Damaskus dari setiap penjuru dunia Islam.
Kemudian Maulana kembali ke kota Konya dengan membawa predikat sebagai seorang yang alim akan ilmu-ilmu keislaman. Para cendikiawan dan ulama menyambut kedatangannya. Begitu pula dengan para pengikutinya, yakni kaum sufi, yang menganggapnya sebagai bagian dari mereka. Pada kesempatan itu, Burhanuddin memaksa dan mendorongnya untuk menjadi seorang mursyid besar dan salah satu guru Irfani yang agung. Pada tahun 638 H/ 1241 M, Burhanuddin al-Tirmidzi wafat di kota Caesarea. Sedangkan Maulana Rumi terus mengajar dan memberi tuntunan kepada para murid di sekelilingnya.
Keadaan ini terus berlangsung sampai tahun 642 H, sebelum terjadinya perubahan besar pada kehidupan Maulana Rumi. Tepatnya pada senin, 26 Jumadil Tsani 642 H, Syamsuddin al-Tabrizi berkunjung ke kota Konya. Dia adalah seorang pria berperawakan tinggi, wajahnya padat berisi, serta kedua matanya dipenuhi oleh amarah dan kasih sayang. Dia banyak bersedih dan umurnya sekitar enam puluhan tahun.
Syams telah banyak bergulat dengan para guru tarekat dan sempat menimba kepada beberapa mursyid, di antara adalah Abu Bakar as-Sallal at-Tabrizi dan Ruknuddin as-Syijasi. Tetapi, mereka tidak dapat menjawab kegoncangan jiwa yang dialami oleh Syams al-Tabrizi serta memuaskan beberapa persoalan yang menghinggapi jiwanya. Karena merasa tidak puas, beliau kemudian meninggalkan kampung halamannya untuk mencari seseorang yang mampu memberinya jawaban. Beliau pernah berkata:
"Aku mencari seseorang yang sejenis denganku agar aku dapat menjadikannya kiblat, tempatku menghadap. Aku telah jenuh dengan diriku sendiri."
Demikianlah hingga akhirnya beliau pergi dari Tabriz menuju Baghdad dan terus melanjutkan perjalanannya ke Damaskus, tempat Ibnu 'Arabi berada. Di sana terjadilah pergulatan dan diskusi antar keduanya.
Beliau masih terus mengembara dari satu kota ke kota lainnya dan akhirnya sampai ke kota Konya. Syamsuddin di liputi oleh kebingungan, sebagaimana disinggung dalam beberapa tulisannya yang menggambarkan kebingungan itu. Ketika ia sampai ke sana, ia tidak mengetahui apakah ia akan menemukan seseorang yang dicarinya di kota itu atau tidak? Beberapa saat lamanya ia terdiam. Dengan menyembunyikan identitas aslinya, ia menyewa sebuah kamar bersama seorang pedagang di kediaman seorang wanita pedagang gula. Sampai akhirnya ia menemukan Rumi.
___________________________________________
[1] Dalam menulis sejarah singkat dari kehidupan Maulan Rumi ini kami merujuk pada buku pengantar berharga yang ditulis oleh Dr. Muhammad Isti'lami yang mentahkik kitab Matsnawi. Untuk mengurai biografi Rumi, kita juga bisa menelusuri beberapa kitab terjemah lainnya seperti: Yad al-Syi'ri: Khamsatu Syi'rai Mutashawwifah min Faris karya Inayat khan, Mystical Dimensions of Islam karya Anemmarie Schimmel, serta buku Rumi and Sufism karya Eva de Vitray dan Meyerovitch. 

Baca Selengkapnya >>>
Saturday, August 19, 2017 0 comments

Tidak takut kehilangan 85 gram emas

www.jurusemuailmu.blogspot.com
Tokoh dalam kisah ini adalah Bilal bin Sa'ad. Tahukah engkau siapa Bilal bin Sa'ad? Abdullah bin Al-Mubarak berkata:
"Kedudukan Bilal bin Sa'ad di negeri Syam [1] dan Mesir layaknya kedudukan Hasan Al-Bashri di Bashrah. Beliau seorang imam dari kalangan Tabi'in. Beliau wafat sekitar 120 H. 
Ketika putra Bilal bin Sa'ad wafat, seorang lelaki datang menemui Bilal. Lelaki itu mengatakan bahwa putranya yang wafat mempunyai utang kepadanya lebih dari 20 dinar [2]. Bilal bertanya,
"Ada saksi?"
Lelaki itu jawab,
"Tidak"
"Ada bukti catatan?" tanya Bilal lagi.
"Tidak."
Bilal berkata, "Kalau begitu, silahkan bersumpah."
"Ya", kata orang itu. 
Namun Bilal lantas meninggalkan orang itu dan tak jadi memintanya bersumpah. Beliau masuk ke rumahnya dan keluar membawa banyak dinar. Beliau berikan dinar itu dan berkata:
"Bila kau benar, aku sudah memenuhi kewajiban putraku. Bila kau dusta, dinar-dinar ini sedekah buatmu."

=========================================

[1] Syam kala itu meliputi: Palestina, Libanon, Jordan, dan Suriah.
[2] 1 dinar = 4,25 gram, jadi 20 dinar = 85 gram emas  dan 1 dirham = 2,975 gram, jadi 200 dirham = 595 gram perak 
[3] Shifat Al-Shafwah, J. I H. 217 
Baca Selengkapnya >>>
0 comments

Seorang ulama rela mengganti warna bajunya demi menjaga perasaan muridnya

www.jurussemuailmu.blogspot.com
Abu Al-Fadhl Yusuf bin Muhammad, yang dikenal dengan Nama Ibnu Al-Nahwi, beliau berasal dari Tawzar di negeri Magribi. Beliau seorang zahid - pribadi ahli zuhud- yang sangat bersahaja. Beliau tak punya hajat pada manusia, tidak mengharap pemberian dari siapapun. Beliau hanya makan apa yang Allah berikan kepadanya dari negerinya. [1] Bila beliau punya keperluan dan rezekinya telat datang, beliau bertawajuh - menghadap diri dan membulatkan diri - kepada Allah dengan doa. Maka Allah pun memenuhi atau meringankan keperluannya.

Pada suatu hari, Abu Al-Hasan Ali bin Hirzihim [2] (w. 559 H.) bercerita:
"Abu Fadhl biasa mengenakan baju putih. Hari itu, seorang siswa mengunjunginya. Siswa itu terburu-buru bersalaman, sehingga menumpahkan tinta ke baju Abu Fadhl. Siswa itu pun merah mukanya saking malunya. Ia merasa kikuk tak karuan. 
Demi melenyapkan malunya itu, Abu Al-Fadhl berkata kepadanya:
"Aku sudah lama berpikir, dengan warna apa aku celup baju ini? Sekarang aku telah mencelupnya dengan warna ini. Beliaupun melepaskan bajunya, mengirimnya ke tukang celup dan berpesan untuk dicelup dengan warna tinta itu."
Maka, rona merah siswa itu sirna.

[1] Hidup mandiri, cukup dengan rezeki yang Allah berikan dan tidak melirik rezeki orang lain.
[2] Seorang guru sufi dan pengajar di Universitas Qarawiyyin di kota Maroko. Beliau wafat di kota Fes, Maroko tahun 559 H.
[3] Kisah ini diambil dari kitab Al-Tasyawwu Ila Rijal Al-Tashawwuf karya al-Tadili h. 97
Baca Selengkapnya >>>
 
;