Oleh: Vera Farah Bararah
Jakarta, Salah satu masalah gizi yang masih dihadapi Indonesia adalah stunting atau anak pendek. Hasil survei menunjukkan jumlah anak pendek di Indonesia lebih banyak ketimbang negara Asean lain seperti Malaysia, Thailand dan Vietnam.
Salah satu masalah gizi yang masih dihadapi Indonesia adalah stunting atau anak pendek. Hasil survei menunjukkan jumlah anak pendek di Indonesia lebih
banyak ketimbang negara ASEAN lain seperti Malaysia, Thailand dan Vietnam.
Dalam hasil South East Asia Nutrition Survey (SEANUTS) yang diikuti oleh 4 negara di Asia Tenggara yaitu Indonesia, Malaysia, Vietnam dan Thailand diketahui jumlah anak pendek di Indonesia masih terbilang tinggi.
"Tinggi badan anak Indonesia yang pendek sebanyak 34 persen anak balita dan 30 persen anak sekolah. Jika dibandingkan dengan Malaysia hanya belasan sekitar 11-12 persen, dan juga Thailand dan Vietnam," ujar Dr Sandjaja, MPH, ketua tim peneliti SEANUTS Indonesia dalam acara Konferensi Nasional SEANUTS di Hotel Bidakara, Rabu (14/11/2012).
Lebih lanjut Dr Sanjaja menuturkan kondisi ini kemungkinan karena asupan makanan yang diterima anak-anak masih di bawah kebutuhan minimal. Diketahui untuk anak usia kurang dari 2 tahun sekitar 20 persen anak laki-laki dan 26 persen anak perempuan mendapatkan asupan nutrisi yang kurang.
Selain itu ketika anak-anak ini tumbuh besar, asupan makanan yang diterimanya juga masih kurang jika dibandingkan dengan angka kecukupan gizi yang ada. Sumber protein dan kalori yang diterima anak ini kurang.
Sementara itu, Dr Minarto, MPS selaku Ketua PERSAGI (Persatuan Ahli Gizi Indonesia) menuturkan stunting merupakan kasus lama, tapi pada survei tahun 2007-2010 disamping ditemukan gizi kurang ternyata data stunting juga tinggi. Untuk itu perlu dilakukan intervensi sejak hamil yang mana kebutuhan nutrisinya perlu dipenuhi.
"Kebutuhan pangan di rumah tangga diperbaiki, faktor ekonomi dan juga subsidi, karena kalau anak tidak makan jadinya pendek. Namun meski makannya cukup belum tentu gizinya baik, bisa jadi nggak dikasih ASI, MP-ASI jelek, nggak diimunisasi, faktor pola asuh juga mempengaruhi," ujar Dr Minarto yang juga direktur Bina Gizi Masyarakat Kemenkes.
Diketahui berdasarkan data Kementerian Kesehatan tahun 2007 menunjukkan 1 dari 5 balita Indonesia kekurangan gizi dan 1 dari 3 balita Indonesia mengalami hambatan pertumbuhan tinggi badan atau yang dikenal dengan stunting.
Stunting merupakan salah satu indikator gizi buruk pada balita, di mana pertumbuhan tinggi balita tidak sesuai dengan usianya dan lebih pendek dari teman-teman seusianya. Padahal, stunting tersebut berpengaruh terhadap perkembangan otak dan kecerdasan anak serta tidak lagi bisa ditangani ketika balita telah berusia 2 tahun.
"Kita akan kejar ketinggalan dengan prioritas atau fokus pada 1.000 hari pertama mulai dari ibu hamil sampai anak usia 2 tahun. Tentu dengan tidak mengabaikan tahun-tahun di luar itu," ujar Dr Minarto.
Masalah status gizi bukanlah hal yang ringan karena konsekuensinya akan berlanjut sampai dewasa dan sangat sulit untuk memutuskan siklus ini. Padahal jika tidak diatasi dengan baik dampaknya akan luas, tidak hanya pada kesehatan tapi juga meliputi pendidikan, pendapatan dan kualitas sumber daya manusia Indonesia.
Sumber: Click Here !!!
Jakarta, Salah satu masalah gizi yang masih dihadapi Indonesia adalah stunting atau anak pendek. Hasil survei menunjukkan jumlah anak pendek di Indonesia lebih banyak ketimbang negara Asean lain seperti Malaysia, Thailand dan Vietnam.
Salah satu masalah gizi yang masih dihadapi Indonesia adalah stunting atau anak pendek. Hasil survei menunjukkan jumlah anak pendek di Indonesia lebih
banyak ketimbang negara ASEAN lain seperti Malaysia, Thailand dan Vietnam.
Dalam hasil South East Asia Nutrition Survey (SEANUTS) yang diikuti oleh 4 negara di Asia Tenggara yaitu Indonesia, Malaysia, Vietnam dan Thailand diketahui jumlah anak pendek di Indonesia masih terbilang tinggi.
"Tinggi badan anak Indonesia yang pendek sebanyak 34 persen anak balita dan 30 persen anak sekolah. Jika dibandingkan dengan Malaysia hanya belasan sekitar 11-12 persen, dan juga Thailand dan Vietnam," ujar Dr Sandjaja, MPH, ketua tim peneliti SEANUTS Indonesia dalam acara Konferensi Nasional SEANUTS di Hotel Bidakara, Rabu (14/11/2012).
Lebih lanjut Dr Sanjaja menuturkan kondisi ini kemungkinan karena asupan makanan yang diterima anak-anak masih di bawah kebutuhan minimal. Diketahui untuk anak usia kurang dari 2 tahun sekitar 20 persen anak laki-laki dan 26 persen anak perempuan mendapatkan asupan nutrisi yang kurang.
Selain itu ketika anak-anak ini tumbuh besar, asupan makanan yang diterimanya juga masih kurang jika dibandingkan dengan angka kecukupan gizi yang ada. Sumber protein dan kalori yang diterima anak ini kurang.
Sementara itu, Dr Minarto, MPS selaku Ketua PERSAGI (Persatuan Ahli Gizi Indonesia) menuturkan stunting merupakan kasus lama, tapi pada survei tahun 2007-2010 disamping ditemukan gizi kurang ternyata data stunting juga tinggi. Untuk itu perlu dilakukan intervensi sejak hamil yang mana kebutuhan nutrisinya perlu dipenuhi.
"Kebutuhan pangan di rumah tangga diperbaiki, faktor ekonomi dan juga subsidi, karena kalau anak tidak makan jadinya pendek. Namun meski makannya cukup belum tentu gizinya baik, bisa jadi nggak dikasih ASI, MP-ASI jelek, nggak diimunisasi, faktor pola asuh juga mempengaruhi," ujar Dr Minarto yang juga direktur Bina Gizi Masyarakat Kemenkes.
Diketahui berdasarkan data Kementerian Kesehatan tahun 2007 menunjukkan 1 dari 5 balita Indonesia kekurangan gizi dan 1 dari 3 balita Indonesia mengalami hambatan pertumbuhan tinggi badan atau yang dikenal dengan stunting.
Stunting merupakan salah satu indikator gizi buruk pada balita, di mana pertumbuhan tinggi balita tidak sesuai dengan usianya dan lebih pendek dari teman-teman seusianya. Padahal, stunting tersebut berpengaruh terhadap perkembangan otak dan kecerdasan anak serta tidak lagi bisa ditangani ketika balita telah berusia 2 tahun.
"Kita akan kejar ketinggalan dengan prioritas atau fokus pada 1.000 hari pertama mulai dari ibu hamil sampai anak usia 2 tahun. Tentu dengan tidak mengabaikan tahun-tahun di luar itu," ujar Dr Minarto.
Masalah status gizi bukanlah hal yang ringan karena konsekuensinya akan berlanjut sampai dewasa dan sangat sulit untuk memutuskan siklus ini. Padahal jika tidak diatasi dengan baik dampaknya akan luas, tidak hanya pada kesehatan tapi juga meliputi pendidikan, pendapatan dan kualitas sumber daya manusia Indonesia.
Sumber: Click Here !!!